Pendidikan
merupakan bagian penting dari kebijaksanaan kebudayaan suatu bangsa. Pendidikan harus
dapat dan perlu memperbaiki kedudukan kebahasaan dari semua kelompok
kebudayaan, yang menembus batas-batas komunikasi dan dapat menyediakan
kesempatan kerja, manfaat-manfaat bagi kehidupan nasional, hak- hak warganegara
dan sebagainya. Di samping itu, pendidikan harus mengajar masyarakat untuk melihat
perbedaan-perbedaan bahasa dan menyadari kelaziman-kelaziman orang lain serta
kebudayaan mereka sendiri.
Penyelidikan
tentang sistem pendidikan formal di negara-negara yang mempunyai bahasa atau
dialek yang berbeda-beda membuktikan bahwa masalah-masalah bahasa sering
dijumpai di sekolah-sekolah dan sebagian besar menyebabkan kemunduran belajar
atau drop out. Keberhasilan sekolah
sebagian besar bergantung pada besarnya kemampuan-kemampuan dalam lisan (oral)
dan tertulis. Oleh karena itu, bila kurikulum, bahan pelajaran, dan metode
mengajar tidak diarahkan kepada kemampuan bahasa peserta didik (murid), maka kesulitan
dalam komunikasi antara pengajar dan peserta didik akan merusak motivasi
belajar. Untuk mengatasi dan memperbaiki situasi yang demikian itu, maka
teknik-teknik analisis linguistik dan sosiolinguistik dapat digunakan untu
membantu penyesuaian
kurikulum dan metode kepada susunan sosiokultural dan kebahasaan.
Simpulan
dari semua studi itu umumnya rnenyatakan bahwa dalam belajar bahasa anak-anak lebih baik daripada
orang dewasa dalam semua
hal, terutama
berkenaan dengan pencapaian hasil akhir. Anak-anak kelihatan sangat luwes dan
mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa mengalami kesulitan
dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua.
Waktu
yang tepat untuk memulai belajar bahasa kedua di sekolah umum, sesuai dengan
tuntutan psikologi anak adalah antara umur 4-10 tahun. Untuk belajar bahasa
secara alamiah di lingkungan penutur asli dapat terjadi hanya selama periode
kritis untuk pemerolehan bahasa,
yaitu antara umur dua tahun dan masa pubertas. Sebelum umur dua tahun, belajar
bahasa tidak mungkin dilakukan karena kurangnya kedewasaan otak, sedangkan pada
masa pubertas laterisasi fungsi bahasa ke
dalam bagian
otak yang disebut hemisfer
dominan telah selesai. Hal
ini mengakibatkan hilangnya kelenturan serebral
otak yang diperlukan untuk belajar
bahasa. Oleh karena itu setelah masa Puberta bahasa harus diajarkan dan
dipelajari melalui usaha sadar dan keras
dan dalam situasi yang harus diciptakan.
Unsur Iain yang penting dalam proses belajar
bahasa kedua adalah
peranan otot-otot alat bicara. Kelenturan otot-otot ini mempengaruhi
pemerolehan bahasa kedua, terutama dalam kegiatan melafalkan bunyi bahasa Seseorang yang berada di atas umur pubertas
umumnya sulit memperoleh kemahiran dalam pelafalan seperti penutur asli karena
berkurangnya kelenturan otot alat bicara ini. Ini berbeda dengan anak kecil
yang secara bersamaan waktunya mempelajari
dua bahasa sekaligus. Hasil pelafalan pada umumnya tak jauh berbeda dengan yang
dicapai pada pelafalan bahasa pertamanya. Dapat dikatakan banwa tidak mungkin
bagi orang dewasa untuk menguasai suatu bahasa tanpa aksen asing.
Dari
segi kognitif, orang dewasa cenderung lebih sempurna dalam menguasai kaidah
eksplisit, yaitu tatabahasa. Namun dari segi afektif, yaitu
sikap dan sifat pribadi yang
mendukung proses belajar bahasa kedua, orang tua cenderung kurang dibandingkan
anak-anak.
Hal ini dilaporkan oleh hasil penelitian Taylor pada tahun 1974 dan Schuman
pada tahun 1975. Mereka melaporkan bahwa anak-anak mempunyai kapasitas pribadi
yang lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak belum memiliki hambatan-
hambatan psikologis tentang identitas diri, yaitu misalnya rasa takut salah
dalam menggunakan bahasa kedua. Mereka tidak terhalangi dalam belajar bahasa
kedua dengan sikap negatif terhadap penutur bahasa itu dan anak-anak pada
umumnya mempunyai dorongan yang kuat untuk belajar bahasa. Ini berarti bahwa anak-anak
menghadapi tugas belajarnya sebagai
tugas yang ringan.
Namun
sebaliknya, seperti telah
dikemukakan, orang dewasa mempunyai beberapa keuntungan kognitif dan afektif
yang lebih baik daripada anak-anak, terutama bila bahasa kedua dipelajari dalam situasi kelas
dengan banyak penekanan pada kaidah bahasa. Orang dewasa merapunyai kapasitas
ingatan yang lebih besar, cara berpikir yang lebih dewasa, sehingga hal ini pun menjadi pendorong belajar yang kuat.
Terutama sekali bila tujuan belajar berbahasa itu bersifat instrumental, yaitu
bahasa sebagai alat. Misalnya, belajar bahasa untuk tujuan perjalanan jauh ke
luar negeri.
Dalam
penulisan tatabahasa pendidikan, faktor usia ini harus benar-benar diperhatikan
penulis. Urutan yang mirip antara pembelajar usia dini dengan usia dewasa
menyarankan agar pengajaran materi tatabahasa pendidikan tidak memperhitungkan
usia pemakai buku. Namun porsi penyajian tatabahasa harus dibedakan jumlahnya.
Tampaknya usia dewasa lebih cepat mempelajari aspek tata bahasa dibandingkan
anak-anak. Untuk itu penyajian tatabahasa yang jumlahnya berlebihan pada
anak-anak justru akan menghambat k.emajuan belajarnya.
Anak-anak
tidak akan pernah belajar suatu bahasa kalau dia tidak dibesarkan dalam suatu
lingkungan pemakaian bahasa,
tetapi kalau dia mempelajari suatu bahasa maka dia mempelajari lebih banyak
daripada yang tersedia baginya melalui lingkungannya sendiri. Belajar bahasa
seperti halnya produksi, persepsi, dan komprehensif bahasa, bersifat
konstruktif, dan anak-anak
(seperti halnya orang dewasa) mempergunakan baik informasi eksteren maupun
intern untuk menyelesaikan tugas ini.
Pemerolehan
bahasa anak selalu menjadi awal pembicaraan tentang persoalan pemerolehan
bahasa. Perkembangan pemerolehan bahasa anak menjadi contoh yang baik untuk
menganalisis lebih dalam tentang bagaimana terjadinya transfer bahasa.
Perkembangan ini diikuti pada tahapan-tahapan usia tertentu yang dianggap
sebagai tahun-tahun emas pemerolehan bahasa seseorang, dalam hal ini usia dini.
Perkembangan
pemerolehan bahasa di setiap tempat dan wilayah yang berbeda mengakibatkan
kajian ini bergeser pada substansi perkembangan bahasa dan ragam bahasa yang digunakan.
Ragam
bahasa yang dikemukakan oleh beberapa ahli menunjukkan klasifikasi yang menuntut
pengembangan lanjutan. Contoh- contoh yang dikemukakan tersebut menggambarkan
luasnya kajian tentang ragam bahasa ini.
Kita
seringkali melihat anak-anak di sekeliling tempat tinggal kita dengan mudah
memperoleh bahasa. Kadang-kadang terdengar lucu. Betapa tidak, apa yang mereka
peroleh dalam berbahasa seringkali tidak dimengerti oleh mereka sendiri.
Terkadang pula, kita kagum karena mereka pandai sekali berucap sesuatu
dengan lantangnya. Yang jelas, mereka
memperoleh bahasa itu tanpa mereka sadari.
Jika
kita sering menyimak dan mendengarkan pemerolehan bahasa anak di sekeliling rumah
kita, bagaimana dengan pembelajaran bahasa mereka? Untuk mengetahui bagaimana
pembelajaran bahasa, tentu kita harus melihatnya minimal di sekolah tempat
mereka belajar. Di tempat itu kita dengan mudah melihat interaksi berbahasa
yang dilakukan mereka. Mengapa demikian? Yang jelas, mereka melakukan
pembelajaran bahasa dilakukan secara sadar.
Lalu,
bagaimana dengan strategi pemerolehan dan pembelajaran bahasa? Bagaimana pula
sikap dan bakat mereka dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa? Untuk masalah
tersebut, kita harus lebih dulu memahami apa hakikat bahasa. Selanjutnya, kita
perlu mengetahui proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Pada akhirnya,
kita akan mengetahui sikap dan bakat mereka dalam pemerolehan dan pembelajaran
bahasa tersebut.
Pada
tahap awal perkembangan kajian pemerolehan bahasa kedua, isu yang banyak dikaji
adalah faktor-faktor internal pembelajar. Faktor-faktor itu meliputi antara
lain umur, bakat, sikap, motivasi, kepribadian, gaya kognitif, dan strategi
belajar.
Umur
merupakan salah satu topik kontroversial dalam kajian pemerolehan bahasa kedua.
Ada yang berpendapat bahwa anak-anak dapat menguasai kemampuan pengucapan
seperti penutur asli. Ada pula yaug berpendapat bahwa orang dewasa lebih cepat
belajar B2 daripada anak-anak. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
setelah menelaah sejumlah hasil penelitian, orang dewasa pada tahap awal lebih
cepat menguasai aspek morfosintaksis daripada anak-anak, akan tetapi pada
akhirnya anak-anak lebih mampu daripada orang dewasa.
Diyakini
oleh para pakar bahwa memang ada fenomena bakat bahasa seperti telah diukur dengan
sejumlah tes. Namun ada pula yang mempertanyakan keberadaan bakat bahasa yang
bersifat bawaan. Belakangan ditemukan bahwa ada perbedaan antara kemahiran
berbahasa yang bersifat akademik dengan keterampilan berkomunikasi dasar. Pendapat ini didukung oleh
bukti-bukti bahwa tes
bakat banyak yang mengukur kemampuan berbahasa yang dikembangkan di sekolah,
yang cenderung bersifat akademik. Krashen menambahkan bahwa bakat hanya terkait
dengan pembelajaran (learning) dan
tidak dengan pemerolehan (acquisition).
Sikap
dan motivasi telah lama diduga memberi pengaruh yang kuat terhadap hasil
belajar. Hubungan antara sikap dan keberhasilan pemerolehan bahasa kedua
bersifat tidak langsung. Sikap mempengaruhi motivasi, dan selanjutnya motivasi
mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua.
Penelitian
lain membedakan motivasi instrumental dan motivasi integratif. Motivasi
instrumental bersifat pragmatis-praktis, sedangkan motivasi integratif terkait
dengan identifikasi pembelajar dengan kelompok penutur B2. Belakangan ditemukan
bahwa perbedaan kedua jenis motivasi tersebut tergantung konteksnya.
Sejumlah
sifat-sifat pribadi diduga banyak berkaitan dengan kelancaran terhadap proses
pemerolehan bahasa kedua. Sifat-sifat itu antara lain harga diri, ekstroversi,
kecemasan, sensitivitas, empati, inhibisi, dan toleransi terhadap kesamaran.
Dari hasil penelitian tentang sifat-sifat ini tidak dapat ditarik simpulan
final. Salah satu simpulan yang patut dicatat ialah bahwa latar kepribadian
yang optimal terletak di antara dua ujung yang ekstrim. Misalnya, kecemasan
moderat dapat memudahkan pemerolehan bahasa.
Gaya
kognitif adalah cara-cara yang disukai oleh seseorang dalam memproses informasi
atau melaksanakan suatu tugas. Beberapa gaya kognitif yang banyak dikaji antara
lain ketergantungan lapangan, impulsivitas dan refleksivitas, gaya dengar dan
gaya visual, dan analitis atau global. Gaya kognitif dikenal rnemiliki dua
ujung yang berbeda, seperti gaya analitis lawan
gaya global. Kenyataannya tidak ada orang yang menempati posisi yang ckstrim,
melainkan terletak di antara kedua ujung tersebut. Salah satu jenis gaya
kognitif ini secara konsisten menunjukkan hubungan yang positif dengan prestasi
belajar bahasa kedua.
Strategi
belajar adalah faktor internal pembelajar yang belakangan banyak menarik minat
peneliti. Kajian tentang strategi belajar dimulai oleh Rubin yang mengkaji
strategi belajar yang digunakan oleh pembelajar yang berhasil. Kini fokus
kajian lebih diarahkan kepada sejauh mana strategi belajar itu dapat
diajarkan kepada pembelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar