Kamis, 11 April 2019

Proses Pemerolehan Bahasa dan Pembelajaran Bahasa Kedua


        Pendidikan merupakan bagian penting dari kebijaksanaan kebudayaan suatu bangsa. Pendidikan harus dapat dan perlu memperbaiki kedudukan kebahasaan dari semua kelompok kebudayaan, yang menembus batas-batas komunikasi dan dapat menyediakan kesempatan kerja, manfaat-manfaat bagi kehidupan nasional, hak- hak warganegara dan sebagainya. Di samping itu, pendidikan harus mengajar masyarakat untuk melihat perbedaan-perbedaan bahasa dan menyadari kelaziman-kelaziman orang lain serta kebudayaan mereka sendiri.     
        Penyelidikan tentang sistem pendidikan formal di negara-negara yang mempunyai bahasa atau dialek yang berbeda-beda membuktikan bahwa masalah-masalah bahasa sering dijumpai di sekolah-sekolah dan sebagian besar menyebabkan kemunduran belajar atau drop out. Keberhasilan sekolah sebagian besar bergantung pada besarnya kemampuan-kemampuan dalam lisan (oral) dan tertulis. Oleh karena itu, bila kurikulum, bahan pelajaran, dan metode mengajar tidak diarahkan kepada kemampuan bahasa peserta didik (murid), maka kesulitan dalam komunikasi antara pengajar dan peserta didik akan merusak motivasi belajar. Untuk mengatasi dan memperbaiki situasi yang demikian itu, maka teknik-teknik analisis linguistik dan sosiolinguistik dapat digunakan untu membantu penyesuaian kurikulum dan metode kepada susunan sosiokultural dan kebahasaan.  
          Simpulan dari semua studi itu umumnya rnenyatakan bahwa dalam belajar bahasa anak-anak lebih baik daripada orang dewasa dalam semua hal, terutama berkenaan dengan pencapaian hasil akhir. Anak-anak kelihatan sangat luwes dan mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangkan orang dewasa mengalami kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. 
Waktu yang tepat untuk memulai belajar bahasa kedua di sekolah umum, sesuai dengan tuntutan psikologi anak adalah antara umur 4-10 tahun. Untuk belajar bahasa secara alamiah di lingkungan penutur asli dapat terjadi hanya selama periode kritis untuk pemerolehan bahasa, yaitu antara umur dua tahun dan masa pubertas. Sebelum umur dua tahun, belajar bahasa tidak mungkin dilakukan karena kurangnya kedewasaan otak, sedangkan pada masa pubertas laterisasi fungsi bahasa ke dalam bagian  otak yang disebut hemisfer dominan telah selesai.  Hal ini mengakibatkan hilangnya kelenturan serebral otak yang diperlukan untuk belajar bahasa. Oleh karena itu setelah masa Puberta bahasa harus diajarkan dan dipelajari melalui usaha sadar dan  keras dan dalam situasi yang harus diciptakan.   
         Unsur Iain yang penting dalam proses belajar bahasa kedua adalah peranan otot-otot alat bicara. Kelenturan otot-otot ini mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua, terutama dalam kegiatan melafalkan bunyi bahasa  Seseorang yang berada di atas umur pubertas umumnya sulit memperoleh kemahiran dalam pelafalan seperti penutur asli karena berkurangnya kelenturan otot alat bicara ini. Ini berbeda dengan anak kecil yang secara bersamaan waktunya mempelajari dua bahasa sekaligus. Hasil pelafalan pada umumnya tak jauh berbeda dengan yang dicapai pada pelafalan bahasa pertamanya. Dapat dikatakan banwa tidak mungkin bagi orang dewasa untuk menguasai suatu bahasa tanpa aksen asing.     
        Dari segi kognitif, orang dewasa cenderung lebih sempurna dalam menguasai kaidah eksplisit, yaitu tatabahasa. Namun dari segi afektif, yaitu sikap dan sifat pribadi yang mendukung proses belajar bahasa kedua, orang tua cenderung kurang dibandingkan anak-anak. Hal ini dilaporkan oleh hasil penelitian Taylor pada tahun 1974 dan Schuman pada tahun 1975. Mereka melaporkan bahwa anak-anak mempunyai kapasitas pribadi yang lebih besar daripada orang dewasa. Anak-anak belum memiliki hambatan- hambatan psikologis tentang identitas diri, yaitu misalnya rasa takut salah dalam menggunakan bahasa kedua. Mereka tidak terhalangi dalam belajar bahasa kedua dengan sikap negatif terhadap penutur bahasa itu dan anak-anak pada umumnya mempunyai dorongan yang kuat untuk belajar bahasa. Ini berarti bahwa anak-anak menghadapi tugas belajarnya sebagai tugas yang ringan.   
        Namun sebaliknya, seperti telah dikemukakan, orang dewasa mempunyai beberapa keuntungan kognitif dan afektif yang lebih baik daripada anak-anak, terutama bila bahasa kedua dipelajari dalam situasi kelas dengan banyak penekanan pada kaidah bahasa. Orang dewasa merapunyai kapasitas ingatan yang lebih besar, cara berpikir yang lebih dewasa, sehingga hal ini pun menjadi pendorong belajar yang kuat. Terutama sekali bila tujuan belajar berbahasa itu bersifat instrumental, yaitu bahasa sebagai alat. Misalnya, belajar bahasa untuk tujuan perjalanan jauh ke luar negeri.   
Dalam penulisan tatabahasa pendidikan, faktor usia ini harus benar-benar diperhatikan penulis. Urutan yang mirip antara pembelajar usia dini dengan usia dewasa menyarankan agar pengajaran materi tatabahasa pendidikan tidak memperhitungkan usia pemakai buku. Namun porsi penyajian tatabahasa harus dibedakan jumlahnya. Tampaknya usia dewasa lebih cepat mempelajari aspek tata bahasa dibandingkan anak-anak. Untuk itu penyajian tatabahasa yang jumlahnya berlebihan pada anak-anak justru akan menghambat k.emajuan belajarnya.   
        Anak-anak tidak akan pernah belajar suatu bahasa kalau dia tidak dibesarkan dalam suatu lingkungan pemakaian bahasa, tetapi kalau dia mempelajari suatu bahasa maka dia mempelajari lebih banyak daripada yang tersedia baginya melalui lingkungannya sendiri. Belajar bahasa seperti halnya produksi, persepsi, dan komprehensif bahasa, bersifat konstruktif, dan anak-anak (seperti halnya orang dewasa) mempergunakan baik informasi eksteren maupun intern untuk menyelesaikan tugas ini.   
Pemerolehan bahasa anak selalu menjadi awal pembicaraan tentang persoalan pemerolehan bahasa. Perkembangan pemerolehan bahasa anak menjadi contoh yang baik untuk menganalisis lebih dalam tentang bagaimana terjadinya transfer bahasa. Perkembangan ini diikuti pada tahapan-tahapan usia tertentu yang dianggap sebagai tahun-tahun emas pemerolehan bahasa seseorang, dalam hal ini usia dini.    
        Perkembangan pemerolehan bahasa di setiap tempat dan wilayah yang berbeda mengakibatkan kajian ini bergeser pada substansi perkembangan bahasa dan ragam bahasa yang digunakan.    
Ragam bahasa yang dikemukakan oleh beberapa ahli menunjukkan klasifikasi yang menuntut pengembangan lanjutan. Contoh- contoh yang dikemukakan tersebut menggambarkan luasnya kajian tentang ragam bahasa ini.   
        Kita seringkali melihat anak-anak di sekeliling tempat tinggal kita dengan mudah memperoleh bahasa. Kadang-kadang terdengar lucu. Betapa tidak, apa yang mereka peroleh dalam berbahasa seringkali tidak dimengerti oleh mereka sendiri. Terkadang pula, kita kagum karena mereka pandai sekali berucap sesuatu dengan  lantangnya. Yang jelas, mereka memperoleh bahasa itu tanpa mereka sadari.   
        Jika kita sering menyimak dan mendengarkan pemerolehan bahasa anak di sekeliling rumah kita, bagaimana dengan pembelajaran bahasa mereka? Untuk mengetahui bagaimana pembelajaran bahasa, tentu kita harus melihatnya minimal di sekolah tempat mereka belajar. Di tempat itu kita dengan mudah melihat interaksi berbahasa yang dilakukan mereka. Mengapa demikian? Yang jelas, mereka melakukan pembelajaran bahasa dilakukan secara sadar.   
        Lalu, bagaimana dengan strategi pemerolehan dan pembelajaran bahasa? Bagaimana pula sikap dan bakat mereka dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa? Untuk masalah tersebut, kita harus lebih dulu memahami apa hakikat bahasa. Selanjutnya, kita perlu mengetahui proses pemerolehan dan pembelajaran bahasa. Pada akhirnya, kita akan mengetahui sikap dan bakat mereka dalam pemerolehan dan pembelajaran bahasa tersebut.    
        Pada tahap awal perkembangan kajian pemerolehan bahasa kedua, isu yang banyak dikaji adalah faktor-faktor internal pembelajar. Faktor-faktor itu meliputi antara lain umur, bakat, sikap, motivasi, kepribadian, gaya kognitif, dan strategi belajar.    
        Umur merupakan salah satu topik kontroversial dalam kajian pemerolehan bahasa kedua. Ada yang berpendapat bahwa anak-anak dapat menguasai kemampuan pengucapan seperti penutur asli. Ada pula yaug berpendapat bahwa orang dewasa lebih cepat belajar B2 daripada anak-anak. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah menelaah sejumlah hasil penelitian, orang dewasa pada tahap awal lebih cepat menguasai aspek morfosintaksis daripada anak-anak, akan tetapi pada akhirnya anak-anak lebih mampu daripada orang dewasa.    
        Diyakini oleh para pakar bahwa memang ada fenomena bakat bahasa seperti telah diukur dengan sejumlah tes. Namun ada pula yang mempertanyakan keberadaan bakat bahasa yang bersifat bawaan. Belakangan ditemukan bahwa ada perbedaan antara kemahiran berbahasa yang bersifat akademik dengan keterampilan berkomunikasi dasar. Pendapat ini didukung oleh bukti-bukti bahwa tes bakat banyak yang mengukur kemampuan berbahasa yang dikembangkan di sekolah, yang cenderung bersifat akademik. Krashen menambahkan bahwa bakat hanya terkait dengan pembelajaran (learning) dan tidak dengan pemerolehan (acquisition).   
         Sikap dan motivasi telah lama diduga memberi pengaruh yang kuat terhadap hasil belajar. Hubungan antara sikap dan keberhasilan pemerolehan bahasa kedua bersifat tidak langsung. Sikap mempengaruhi motivasi, dan selanjutnya motivasi mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua.
        Penelitian lain membedakan motivasi instrumental dan motivasi integratif. Motivasi instrumental bersifat pragmatis-praktis, sedangkan motivasi integratif terkait dengan identifikasi pembelajar dengan kelompok penutur B2. Belakangan ditemukan bahwa perbedaan kedua jenis motivasi tersebut tergantung konteksnya.   
        Sejumlah sifat-sifat pribadi diduga banyak berkaitan dengan kelancaran terhadap proses pemerolehan bahasa kedua. Sifat-sifat itu antara lain harga diri, ekstroversi, kecemasan, sensitivitas, empati, inhibisi, dan toleransi terhadap kesamaran. Dari hasil penelitian tentang sifat-sifat ini tidak dapat ditarik simpulan final. Salah satu simpulan yang patut dicatat ialah bahwa latar kepribadian yang optimal terletak di antara dua ujung yang ekstrim. Misalnya, kecemasan moderat dapat memudahkan pemerolehan bahasa.    
        Gaya kognitif adalah cara-cara yang disukai oleh seseorang dalam memproses informasi atau melaksanakan suatu tugas. Beberapa gaya kognitif yang banyak dikaji antara lain ketergantungan lapangan, impulsivitas dan refleksivitas, gaya dengar dan gaya visual, dan analitis atau global. Gaya kognitif dikenal rnemiliki dua ujung yang berbeda, seperti gaya analitis lawan gaya global. Kenyataannya tidak ada orang yang menempati posisi yang ckstrim, melainkan terletak di antara kedua ujung tersebut. Salah satu jenis gaya kognitif ini secara konsisten menunjukkan hubungan yang positif dengan prestasi belajar bahasa kedua.   
        Strategi belajar adalah faktor internal pembelajar yang belakangan banyak menarik minat peneliti. Kajian tentang strategi belajar dimulai oleh Rubin yang mengkaji strategi belajar yang digunakan oleh pembelajar yang berhasil. Kini fokus kajian lebih diarahkan kepada sejauh mana strategi belajar itu dapat diajarkan  kepada pembelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenal Chipset yang Sering Digunakan di Smartphone saat ini.

    Chipset merupakan sebuah komponen penting bagi Smartphone dan penggunanya. Banyak pengguna Smartphone yang pilih-pilih terlebih da...