Pengertian Pendekatan Kontekstual
(CTL)
CTL adalah salah satu strategi pembelajaran yang
dikembangkan oleh The Washington State Consortium for Contextual Teaching and
Learning, yang melibatkan 11 perguruan tinggi, 20 sekolah, dan lembaga-lembaga
yang bergerak di bidang pendidikan di Amerika Serikat. Salah satu kegiatan dari
konsorsium tersebut adalah melatih dan memberi kesempatan kepada para guru dari
enam propinsi di Indonesia untuk mempelajari pendekatan kontekstual di Amerika
Serikat (Priyatni, 2002:1).
Pendekatan kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran afektif, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya (Nurhadi, 2002:5).
Johnson (dalam Nurhadi, 2002:12) merumuskan pengertian CTL sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL, akan menuntun siswa ke semua komponen utama CTL, yaitu melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara atau merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya.
Pendekatan kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran afektif, yaitu konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian yang sebenarnya (Nurhadi, 2002:5).
Johnson (dalam Nurhadi, 2002:12) merumuskan pengertian CTL sebagai suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem CTL, akan menuntun siswa ke semua komponen utama CTL, yaitu melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan kreatif, memelihara atau merawat pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya.
Pendekatan
CTL menurut Suyanto (2003:2) merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan siswa
untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang
mereka peroleh dalam berbagai macam mata pelajaran baik di sekolah maupun di
luar sekolah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pada saat guru menghadirkan
dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari
konteks yang terbatas, sedikit demi sedikit, dan dari proses mengonstruksi
sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sehari-hari.
Karakteristik Contextual Teaching and Learning
Menurut Johnson (dalam Nurhadi, 2002:14) terdapat delapan utama yang menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual, yaitu (1) melakukan hubungan yang bermakna, (2) mengerjakan pekerjaan yang berarti, (3) mengatur cara belajar sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mengasuh atau memelihara pribadi siswa, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian sebenarnya.
Nurhadi (2003:20) menyebutkan dalam kontekstual mempunyai sebelas karakteristik antara lain yaitu (1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa aktif, guru kreatif, (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain, serta (11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain.
Menurut Johnson (dalam Nurhadi, 2002:14) terdapat delapan utama yang menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual, yaitu (1) melakukan hubungan yang bermakna, (2) mengerjakan pekerjaan yang berarti, (3) mengatur cara belajar sendiri, (4) bekerja sama, (5) berpikir kritis dan kreatif, (6) mengasuh atau memelihara pribadi siswa, (7) mencapai standar yang tinggi, dan (8) menggunakan penilaian sebenarnya.
Nurhadi (2003:20) menyebutkan dalam kontekstual mempunyai sebelas karakteristik antara lain yaitu (1) kerja sama, (2) saling menunjang, (3) menyenangkan, (4) belajar dengan bergairah, (5) pembelajaran terintegrasi, (6) menggunakan berbagai sumber, (7) siswa aktif, (8) sharing dengan teman, (9) siswa aktif, guru kreatif, (10) dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa, peta-peta, gambar, artikel, humor, dan lain-lain, serta (11) laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain.
Priyatni (2002:2) menyatakan bahwa
pembelajaran yang dilaksanakan dengan CTL memiliki karakteristik sebagai
berikut.
(1)
Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang autentik, artinya pembelajaran
diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah dalam
konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).
konteks nyata atau pembelajaran diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah (learning in real life setting).
(2)
Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas
yang bermakna (meaningful learning).
(3)
Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa
melalui proses mengalami (learning by doing).
(4)
Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi
(learning in a group).
(5)
Kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara mendalam
merupakan aspek penting untuk menciptakan pembelajaran yang menyenangkan
(learning to knot each other deeply).
(6)
Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, kreatif, dan mementingkan
kerja sama (learning to ask, to inquiry, to York together).
(7)
Pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang menyenangkan (learning as an enjoy
activity).
Komponen Contextual Teaching and
Learning
Pembelajaran kontekstual (CTL) memiliki tujuh komponen
utama, yaitu sebagai berikut.
(1) Konstruktivisme (construktivism)
Konstruktivisme merupakan landasan filosofi pendekatan CTL
yang menyatakan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit,
yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit dan tidak
sekonyong-
konyong). Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mengingat pengetahuan. Konsep konstruktivisme menuntut siswa untuk dapat membangun arti dari pengalaman baru pada pengetahuan tertentu.
Priyatni (2002:2) menyebutkan bahwa pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif dari pengalaman atau pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Siswa harus mengonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
konyong). Strategi pemerolehan pengetahuan lebih diutamakan dibandingkan dengan seberapa banyak siswa mengingat pengetahuan. Konsep konstruktivisme menuntut siswa untuk dapat membangun arti dari pengalaman baru pada pengetahuan tertentu.
Priyatni (2002:2) menyebutkan bahwa pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif dari pengalaman atau pengetahuan terdahulu dan dari pengalaman belajar yang bermakna. Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Siswa harus mengonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
(2) Inkuiri (inquiry)
Menemukan merupakan strategi belajar dari kegiatan
pembelajaran kontekstual. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa
diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada
kegiatan menemukan, apa pun materinya.
Inkuiri adalah siklus proses dalam membangun pengetahuan yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Inkuiri diawali dengan pengamatan untuk memahami konsep atau fenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan. Priyatni (2002:2) menjelaskan bahwa inkiri dimulai dari kegiatan mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis), mengumpulkan data, dan merumuskan teori sebagai kegiatan terakhir.
Inkuiri adalah siklus proses dalam membangun pengetahuan yang bermula dari melakukan observasi, bertanya, investigasi, analisis, kemudian membangun teori atau konsep. Inkuiri diawali dengan pengamatan untuk memahami konsep atau fenomena dan dilanjutkan dengan melaksanakan kegiatan bermakna untuk menghasilkan temuan. Priyatni (2002:2) menjelaskan bahwa inkiri dimulai dari kegiatan mengamati, bertanya, mengajukan dugaan sementara (hipotesis), mengumpulkan data, dan merumuskan teori sebagai kegiatan terakhir.
(3) Bertanya (questioning)
Bertanya merupakan keahlian dasar yang dikembangkan dalam
pembelajaran CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru
untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa,
kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang
berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa yang sudah
diketahuinya, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.
Konsep ini berhubungan dengan kegiatan tanya jawab yang
dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Pertanyaan sebagai wujud
pengetahuan yang dimiliki. Tanya jawab dapat diterapkan antara siswa dengan
siswa, guru dengan siswa, siswa dengan guru, atau siswa dengan orang lain yang
didatangkan ke kelas.
(4) Masyarakat belajar (learning
commnunity)
Masyarakat belajar merupakan penciptaan lingkungan belajar
dalam pembelajaran kontekstual (CTL). Masyarakat belajar adalah kelompok
belajar yang berfungsi sebagai wadah komunikasi untuk berbagi pengalaman dan
gagasan. Aplikasinya dapat berwujud dalam pembentukan kelompok kecil atau
kelompok besar serta mendatangkan ahli ke kelas, atau belajar dengan
teman-teman lainnya. Belajar bersama dengan orang lain lebih baik dibandingkan
dengan belajar sendiri.
Konsep masyarakat belajar menyarankan agar hasil
pembelajaran diperoleh dari kerja sama dengan orang lain. Hasil belajar
diperoleh dari berbagi pengalaman antarteman, antarkelompok, dan antara yang
tahu ke yang tidak tahu. Pembelajaran kontekstual dilaksanakan dalam
kelompok-kelompok belajar yang anggotanya heterogen sehingga sehingga akan
terjadi kerja sama antara siswa yang pandai dengan siswa yang
lambat. Kegiatan masyarakat belajar
difokuskan pada aktivitas berbicara
dan berbagai pengalaman dengan orang lain. Priyatni (2002:3) menyebutkan bahwa aspek kerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik adalah tujuan pembelajaran yang menerapkan learning community
dan berbagai pengalaman dengan orang lain. Priyatni (2002:3) menyebutkan bahwa aspek kerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik adalah tujuan pembelajaran yang menerapkan learning community
(5) Pemodelan (modelling)
Model merupakan acuan pencapaian kompetensi dalam
pembelajaran kontekstual. Konsep ini berhubungan dengan kegiatan
mendemonstrasikan suatu materi pelajaran agar siswa dapat mencontoh atau agar
dapat ditiru, belajar atau melakukan dengan model yang diberikan. Dalam
pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model, siswa juga dapat
berperan aktif dalam mencoba menghasilkan model.
Priyatni (2002:3) menyatakan bahwa kegiatan pemberian model bertujuan untuk membahasakan gagasan yang kita pikirkan, mendemonstrasikan bagaimana kita menginginkan para siswa untuk belajar, atau melakukan apa yang kita inginkan agar siswa melakukannya.
Priyatni (2002:3) menyatakan bahwa kegiatan pemberian model bertujuan untuk membahasakan gagasan yang kita pikirkan, mendemonstrasikan bagaimana kita menginginkan para siswa untuk belajar, atau melakukan apa yang kita inginkan agar siswa melakukannya.
(6) Refleksi (reflcti)
Refleksi merupakan langkah akhir dari belajar dalam
pembelajaran kontruktivisme. Konsep ini merupakan proses berpikir tentang apa
yang telah dipelajari. Proses telaah terhadap kejadian, aktivitas, dan
pengalaman yang dihubungkan dengan apa yang telah dipelajari siswa, dan
memotivasi munculnya ide-ide baru. Refleksi berarti melihat kembali suatu
kejadian, kegiatan dan pengalaman dengan tujuan untuk mengidentifikasi hal yang
telah diketahui, dan hal yang belum diketahui. Realisasinya adalah pertanyaan
langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu, catatan di buku siswa,
kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran pada hari itu.
Priyatni (2002:3) menjelaskan bahwa kegiatan refleksi
adalah kegiatan memikirkan apa yang telah kita pelajari, menelaah, dan
merespons semua kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang terjadi dalam
pembelajaran, dan memberikan masukan-masukan perbaikan jika diperlukan.
(7) Penilaian yang sebenarnya (authentic
assessmen)
Penilaian yang sebenarnya merupakan proses pengumpulan
berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar
siswa. Dalam pembelajaran kontekstual, penilaian ditekankan pada proses
pembelajarannya, maka data dan informasi yang dikumpulkan harus diperoleh dari
kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajarannya
Penilaian yang sebenarnya merupakan tindakan menilai
kompetensi siswa secara nyata dengan menggunakan berbagai alat dan berbagai
teknik tes, portofolio, lembar observasi, unjuk kerja, dan sebagainya. Prosedur
penilaian yang menunjukkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap siswa secara
nyata. Penilaian yang sebenarnya ditekankan pada pembelajaran yang seharusnya
membantu siswa agara mamapu mempelajari sesuatu, bukan hanya memperoleh
informasi pada akhir periode. Kemajuan belajar siswa dinilai bukan hanya yang
berkaitan dengan nilai tetapi lebih pada proses belajarnya.
Penerapan Contextual Teaching and Learning dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan menanamkan bekal
keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia bukan hanya memberikan
pengetahuan. Pembelajaran bahasa Indonesia harus dibuat semenarik mungkin agar
siswa antusias mengikuti proses belajar mengajar. Pembelajaran bahasa dan
sastra Indonesia menghendaki sebuah proses pragmatik, bukan teoritik belaka.
Pembelajaran yang memanfaatkan CTL sangat diperlukan.
Menurut Endraswara (2003:58) pendekatan kontekstual memang
cukup strategis karena menghendaki (1) terhayati fakta yang dipelajari, (2)
permasalahan yang akan dipelajari harus jelas, terarah, rinci, (3) pragmatika
materi harus mengacu pada kebermanfaatan secara konkret, dan (4) memerlukan
belajar kooperatif dan mandiri.
Penerapan CTL dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada aspek membaca, berbicara, mendengarkan, dan menulis baik dari segi berbahasa maupun bersastra dipaparkan sebagai berikut.
Penerapan CTL dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada aspek membaca, berbicara, mendengarkan, dan menulis baik dari segi berbahasa maupun bersastra dipaparkan sebagai berikut.
1) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Membaca
Membaca menurut Komaruddin
(2005:21) adalah mengeja atau melafalkan apa yang tertulis atau melihat serta
memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati).
Membaca merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang harus dikuasai oleh
siswa. Kegiatan membaca tersusun dari empat komponen, yaitu strategi,
kelancaran, pembaca, dan teks.
Dalam pembelajaran membaca, guru dapat menciptakan
masyarakat belajar di kelas. Masyarakat belajar berfungsi sebagai wadah
bertukar pikiran, bertukar
informasi, tanya jawab tentang berbagai permasalahan belajar yang dihadapi, dan pada akhirnya dicari solusi tentang permasalahan tersebut. Guru seharusnya menjadi model yang mendemonstrasikan teknik membaca yang baik di kelas. Guru juga harus memonitor pemahaman siswa. Memonitor pemahaman penting untuk mencapai sukses membaca. Salah satu hal yang terkait dalam proses memonitor ini adalah kemampuan siswa dalam mencapai kompetensi dasar yang telah ditetapkan guru. Guru harus seimbang baik posisinya sebagai pendamping siswa maupun pengembang keterampilan siswa dalam pemahaman bacaan.
informasi, tanya jawab tentang berbagai permasalahan belajar yang dihadapi, dan pada akhirnya dicari solusi tentang permasalahan tersebut. Guru seharusnya menjadi model yang mendemonstrasikan teknik membaca yang baik di kelas. Guru juga harus memonitor pemahaman siswa. Memonitor pemahaman penting untuk mencapai sukses membaca. Salah satu hal yang terkait dalam proses memonitor ini adalah kemampuan siswa dalam mencapai kompetensi dasar yang telah ditetapkan guru. Guru harus seimbang baik posisinya sebagai pendamping siswa maupun pengembang keterampilan siswa dalam pemahaman bacaan.
2) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Berbicara
Berbicara merupakan salah satu kompetensi dasar yang
berusaha mengungkapkan gagasan melalui bahasa lisan. Berbicara merupakan
kegiatan menghubungkan antara semata dengan kepercayaan diri untuk tampil
mengungkapkan gagasan. Suasana kelas memiliki peran dalam pembelajaran
berbicara.
Pembelajaran di kelas dapat menggunakan teknik belajar
dalam konteks interaksi kelompok (cooperating). Guru membuat suatu kelompok
belajara (learning community). Dalam komunitas tersebut siswa berusaha untuk
mengutarakan pikirannya, berdiskusi dengan teman. Konsep dasar dalam teknik ini
adalah menyatukan pengalaman-pengalamn dari masing-masing individu. Teknik ini
memacu siswa untuk berkomentar, mengungkapkan gagasannya dalam komunitas
belajar. Tahap pertama, siswa diberikan peluang untuk berbicara. Apabila
terdapat kesalahan penggunaan bahasa, guru dapat memberikan pembenaran
selanjutnya. Menumbuhkan keterampilan berbicara, dimulai dengan menumbuhkan
kepercayaan diri pada diri siswa.
Prinsip CTL memuat konsep kesaling bergantungan para
pendidik, siswa, masyarakat, dan lingkungan. Prinsip tersebut memacu siswa
untuk turut mengutarakan pendapat dalam memecahkan masalah. Prinsip
diferensiasi dalam CTL membebaskan siswa untuk menjelajahi bakat pribadi,
membebaskan siswa untuk belajar dengan cara mereka sendiri. CTL merupakan salah
satu alternatif pembelajaran inovatif, kreatif, dan efektif.
Keterampilan berbicara menggunakan bentuk penilaian berupa unjuk kerja. Siswa diberikan instrumen yang dapat membuatnya berbicara atau berkomentar. Berpidato, menceritakan kembali, berkomentar, bertanya merupakan salah satu kegiatan dalam berbicara. Penilaian yang dilakukan guru harus sesuai dengan fakta di kelas. Siswa yang pandai berbicara layak mendapatkan nilai tinggi dalam kompetensi berbicara dibandingkan siswa yang frekuensi berbicaranya rendah.
Keterampilan berbicara menggunakan bentuk penilaian berupa unjuk kerja. Siswa diberikan instrumen yang dapat membuatnya berbicara atau berkomentar. Berpidato, menceritakan kembali, berkomentar, bertanya merupakan salah satu kegiatan dalam berbicara. Penilaian yang dilakukan guru harus sesuai dengan fakta di kelas. Siswa yang pandai berbicara layak mendapatkan nilai tinggi dalam kompetensi berbicara dibandingkan siswa yang frekuensi berbicaranya rendah.
3) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Mendengarkan
Mendengarkan adalah proses menangkap pesan atau
gagasan yang disampaikan melalui ujaran. Keterampilan mendengarkan membutuhkan
daya konsentrasi lebih tinggi dibanding membaca, berbicara, dan menulis.
Ciri-ciri mendengarkan adalah aktif reseptif, konsentratif, kreatif, dan
kritis. Pembelajaran mendengarkan dalam CTL mengharuskan guru untuk membiasakan
siswanya untuk mendengarkan. Mendengarkan dapat melalui tuturan langsung maupun
rekaman. Kemudian siswa diberikan instrumen untuk
menjawab beberapa pertanyaan. Teknik-teknik penilaian yang digunakan untuk
mengetahui perkembangan siswa pada keterampilan mendengarkan dapat menggunakan
teknik observasi. Observasi dilakukan guru dengan melihat dan mencatat hal-hal
yang berkaitan dengan perkembangan menyimak siswa. Proses perekaman dapat
dilakukan guru menggunakan buku atau lembar observasi untuk siswa. Rekaman
observasi ini berisi perilaku siswa saat pembelajaran menyimak berlangsung dan
pembelajaran keterampilan yang lain.
Teknik kedua adalah dengan portofolio merupakan kumpulan
hasil karya siswa dalam satu periode waktu tertentu, misalnya satu semester
yang menggambarkan perkembangan siswa dalam keterampilan menyimak. Data yang
didapat dari portofolio digunakan untuk mengetahui perkembangan belajar
menyimak siswa. Teknik ketiga adalah jurnal dalam mendengarkan. Jurnal
digunakan untuk merekam atau meringkas aspek-aspek yang berhubungan dengan
topik-topik kunci yang dipahami, perasaan siswa terhadap pembelajaran menyimak,
kesulitan yang dialami atau keberhasilan siswa dalam mencapai kompetensi yang
dipelajari. Jurnal dapat berupa diary, atau catatan siswa yang lain.
4) Penerapan CTL dalam Pembelajaran Menulis
Menulis merupakan penyampaian gagasan dalam bentuk bahasa
tulis. Salah satu keterampilan pembelajaran menulis adalah pembelajaran menulis
kreatif.
Keterampilan menulis kreatif bukan hanya berpusat pada guru sebagai informan melainkan siswa sendiri yang harus berperan aktif dalam pembelajaran. Guru hanya memberikan instruksi kepada siswa untuk membuat karangan kreatif tanpa ada penguatan sebelumnya.
Keterampilan menulis kreatif bukan hanya berpusat pada guru sebagai informan melainkan siswa sendiri yang harus berperan aktif dalam pembelajaran. Guru hanya memberikan instruksi kepada siswa untuk membuat karangan kreatif tanpa ada penguatan sebelumnya.
Salah satu tujuan pembelajaran kontekstual adalah
mempertemukan konsep-konsep yang dipelajari di dalam ruang kelas dengan
kenyataan aktual yang dapat dipahami dengan konsep-konsep teoretis itu dalam
kenyataan lingkungan terdekatnya. Guru seharusnya dapat memberikan ruang bebas
untuk siswa agar dapat mengungkapkan gagasannya, tanpa perlu dibatasi. Komponen
CTL berwujud refleksi adalah berusaha untuk menghubungkan apa yang telah
dipelajari dengan realitas sehari-hari siswa. Instrumen yang diberikan guru
dapat berupa pemberian tugas menuliskan kegiatan sehari-hari dalam sebuah diary
yang pada nantinya dapat dijadikan sebuah dokumen portofolio. Isi diary adalah
tentang apa yang dipelajari hari itu, permasalahan apa yang dihadapi, serta
proses pencarian jawaban tentang permasalahan tersebut. Setelah siswa menulis
diary dalam periode tertentu, guru dapat melakukan penilaian tentang tulisan
siswa tersebut dan pada akhirnya ditentukan keputusan siswa tersebut telah
dapat memenuhi kompetensi atau belum.
Seorang guru yang memiliki kompetensi memadai seharusnya
dapat melakukan penilaian secara autentik tentang kegiatan menulis siswanya.
Penilaian yang sebenarnya adalah penilaian berbasis siswa. Penilaian guru
tentang kegiatan menulis siswa harus sesuai dengan kompetensi siswa yang
sesungguhnya. Guru harus membuat rubrik penilaian yang dapat mencakup semua
aspek yang akan dinilai. Sebelum membuat rubrik, guru harus dapat membuat
instrumen yang mudah dimengerti oleh siswa, dan instrumen yang dapat membuat
siswa berpikir kritis dan kreatif. Instrumen menulis yang dibuat guru harus
dapat memfasilitasi siwa untuk menulis kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003.
Membaca, Menulis, mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang.
Komaruddin, Erien. 2005. Panduan Kreatif Bahasa Indonesia. Bogor: Yudhistira.
Nurhadi, dkk. 2002. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Priyatni, Endah Tri. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Pembelajaran Konteksual. Makalah disajikan dalam Semlok KBK dan Pembelajarannya di SMAN 2 Jombang. Malang: Universitas Negeri Malang.
Pranowo.2015. Teori
Belajar Bahasa.Yogyakarta: Pustaka belajar
http://kitkl.blogspot.co.id/2017/12/contextual-teaching-dan-learning.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar