Pendekatan
Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
Pendekatan komunikatif adalah sistem
pembelajaran yang menekankan pada aspek komunikasi, interaksi, dan
mengembangkan kompetensi kebahasaan, serta keterampilan berbahasa (menyimak,
membaca, menulis, berbicara) sebagai tujuan pembelajaran bahasa dan mengakui
bahwa ada kaitannya dengan kegiatan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan komunikatif di Indonesia
muncul pada tahun 1980 karena adanya ketidakpuasan akan beberapa teori bahasa
(tradisional, struktural, dan mentalistik) yang hanya menekankan pembelajaran
bahasa pada teori saja, tanpa memperhatikan bagaimana cara penggunakan bahasa
tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan komunikatif dapat juga
diartikan sebagai pendekatan yang berpijak pada hakikat bahasa sebagai
alat/sarana komunikasi, sehingga pengajaran bahasa diarahkan pada penggunaan
bahasa sebagai alat komunikasi. Komponen komunikasi itu meliputi unsur pelaku
komunikasi, cara berkomunikasi, tempat komunikasi, dan lain-lain (Djiwandono,
1996).
Terkait dengan pendapat tersebut
diatas, Hymes (dalam Brumfit dan Johnson, 1987), mengemukakan bahwa didalam
kelas, bahasa digunakan untuk beberapa tujuan, seperti memberikan sambutan,
memohon, memberikan informasi, memerintahkan, dan seterusnya, walaupun
pemakaiannya terbatas.
Kompetensi Komunikatif
Kompetensi komunikasi adalah sebuah konsep yang menjadi
topik pembicaraan selama empat dasawarsa terakhir. Berbicara kompetensi
komunikasi tidak lagi hanya membicarakan karakteristik struktur dan kognitif,
tetapi lebih menekankan pada implikasi sosial, kultural, dan pragmatik.
Menurut Mondada dan Doehler (2004:502-503) aktivitas
berinteraksi merupakan pengalaman pembelajar yang berkaitan dengan
kompetensi komunikasi. Kemampuan komunikasi tidak hanya berhubungan dengan
potensi otak seseorang. Zuengler dan Cole (2005) serta Watsongegeo dan Nielsen
(2003) menegaskan bahwa konsep sosialisasi dalam pemerolehan bahasa sangat
penting untuk penelitian pemerolehan bahasa, dan sosialisasi tersebut
memberikan banyak sumbangan untuk pemahaman konpleksitas kognitif, kultural,
sosial, dan politik pembelajaran bahasa.
Perspektif konstruktivis sosial memandang bahasa sebagai
komunikasi interaktif antar individu, yang masing-masing memiliki identitas
sosial budaya. Para peneliti pun mengkaji wacara, interaksi, pragmatik, dan
negosiasi sebagai bahan untuk menghasilkan kompetensi komunikasi. Pembelajaran
bahasa asing pun bergerak kearah penciptaan makna melalui tindak negosiasi
antar personal dalam pembelajaran bahasa. Kompetensi komunikasi telah menjadi
sebuah istilah yang akrab dalam SLA (Second Language Aquisition), dan padanannya. Pengajaran
komunikatif masih menjadi istilah yang tepat untuk penelitian dan pengajaran
terkini.
Istilah Communicative
Competence diperkenalkan oleh Dell Hymes (1972, 1967). Ia
mengkritisi istilah kompetensi yang dikemukakan Chomsky (1965) terlalu sempit
pengertiannya. Menurut Hymes kreatifitas yang ditentukan oleh kaidah menurut
Chomsky dalam perkembangan tata bahasa anak usia 3 atau 4 tahun tidak
cukup menjelaskan kaidah-kaidah sosial dan fungsional bahasa.
Oleh karena itu, Hymes menyebut Kompetensi komunikasi
sebagai aspek kompetensi yang memungkinkan kita menyampaikan dan menafsirkan
pesan antarpersonal dalam konteks tertentu. Savignon (1983, 9) mengatakan bahwa
kompetensi komunikatif tergantung pada kerjasama semua partisipan yang
terlibat.
Pada tahun 1970-an, penelitian tentang kompetensi
komunikasi telah membedakan antara kompetensi linguistik dan komunikatif
(Paulston, 1974; Hymes, 1967). Karya berpengaruh yang dijadikan bahan rujukan
hampir semua diskusi tentang kompetensi komunikasi dalam pengajaran kedua
adalah buku karya Michael Canale dan Merrill Swain (1980). Mereka membagi empat
komponen yang membangun konsep kompetensi. Kompetensi gramatikal adalah aspek
kompetensi komunikasi yang meliputi tentang leksikal, kaidal morfologi,
sintaksis, semantik, kalimat tata bahsa, dan fonologi (Canlale & Swain,
1990:29).
Kompetensi wacana adalah kemampuan untuk mengkaitkan
kalimat-kalimat dalam rentang wacana dan untuk membentuk keseluruhan rangkaian
tuturan yang bermakna. Wacana berarti apa saja mulai dari percakapan sederhana
hingga teks tulis panjang (artikel, buku, dan sebaianya).
Jika kompetensi gramatikal berfokus pada tata bahasa
taraf kalimat, kompetensi wacana berurusan dengan hubungan antar kalimat.
Kompetensi Sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah sosial
budaya bahasa dan wacana. Kompetensi sosiolinguistik mensyaratkan pemahaman
tentang konteks sosial saat bahasa digunakan; peran para partisipan, informasi,
dan fungsi interaksi. Hanya dalam sebuah konteks utuh penilaian bisa dilakukan
terhadap kelayakan tuturan tertentu.
Kompetensi Strategis adalah konsep yang luar biasa
kompleks. Cane dan Swain (1980:30) menggambarkan kompetensi strategis sebagai
strategi komunikasi verbal dan non-verbal yang bisa dipakai untuk mengimbangi
kemandekan dalam komunikasi karena kompetensi yang tidak memadai. Sedangkan
menurut Savignon (1983:40) kompetensi strategis adalah strategi-strategi yang
digunakan seseorang untuk mengimbangi pengetahuan yang tidak sempurna tentang
kaidah atau faktor-faktor yang membatasi penggunaan strategi-strategi itu
seperti keletihan, kelalaian, atau tidak memperhatikan.
Pendekanya, kompetensi inilah yang mendasari kemapuan
kita untuk melakukan perbaikan, mengatasi kekurangan pengetahuan, dan menopang
komunikasi dengan penyederhanaan, penyampaian tidak langsung, pengulangan,
keraguan, pengindraan, dan terkaan, maupun pergeseran register dan gaya.
Yule dan Tarone (1990:181) menyebut kompetensi strategis
sebagai kemampuan memilih sebuah sarana efektif untuk melakukan sebuah tindak
komunikasi yang memungkinkan pendengar/ pembaca mengenali rujukan yang
dimaksud. Seseorang pembicara handal mempunyai dan mampu menggunakan sebuah
kompetensi strategis yang canggih. Seorang wiraniaga dapat menggunakan
strategi-strategi komunikasi tertentu yang membuat sebuh produk tampak
menggiurkan.
Model kompetensi komunikasi Canale dan Swain (1980) ternyata
mengalami modifikasi selama beberapa tahun. Pandangan yang lebih baru
dikemukakan oleh Lyle Bachman (1990). Ia menyebut kompetensi komunikasi dengan
istilah kompetensi bahasa. Ia menempatkan kompetensi gramatika dan wacana
(disebut tekstual) di bawah satu cabang, yang disebut kompetensi
organisasional: semua sistem yang menentukan apa yang bisa kita lakukan dengan
bentuk-bentuk bahasa, baik pada tataran kalimat atau kaidah yang mengatur
bagaimana mengikat kalimat-kalimat menjadi sebuah wacana.
Kompetensi sosiolinguistik menurut Canale dan Swain
dibagi menjadi dua kategori pragmatik: aspek-aspek fungsional bahasa
(kompetensi ilokusioner), berhubungan dengan pengiriman dan penerimaan pesan
yang dimaksud), dan aspek-aspek sosiolinguistik (yang membahas tentang
pertimbangan-pertimbangan seperti sopan santu, derajat formalitas, metofora,
register, dan aspek-aspek bahasa yang terkait secara kultural. Bachman juga
menambahkan kompetensi strategis sebagai elemen yang sepenuhnya terpisah dari
kemampuan komunikatif. Dengan demikian, dalam pengajaran
bahasa, semua kompetensi yang dapat menunjang keberhasilan berkomunikasi, harus
menjadi perhatian dan bahan pertimbangan dalam memilih strategi pembelajaran.
Metode ini mulai berkembang bersamaan
dengan terjadinya beberapa perubahan pada tradisi pengajaran bahasa yang
terjadi di Inggris pada tahun 1960-an yang bersamaan dengan ditolaknya
pendekatan audilingual di Amerika. Para praktisi merasa tidak puas karena para
pelajar, setelah belajar beberapa tahun, tetap belum lancar berkomunikasi dalam
bahasa target. Sedangkan para ahli linguistik mengecam dari sisi landasan
teoritisnya.
Kelahiran metode komunikatif merupakan
hasil dari sejumlah kajian tentang pemerolehan bahasa (iktisab al-lughah/language
acquisition) dan berbagai penelitian mengenai metode pengajaran bahasa di Eropa
dan Amerika. Meskipun terdapat beberapa variasi dalam penerapannya, Metode
Komunikatif tetap mempertahankan karakteristik dasarnya yaitu apa yang dikenal
dengan kesenjangan informasi, pilihan dan umpan balik, dan materi otentik.
Kesenjangan informasi terjadi apabila
terdapat dua orang atau lebih saling bertukar informasi, dimana orang yang
mengetahui sesuatu memberikan informasi kepada orang yang tidak mengetahuinya.
Hal ini sejalan dengan tujuan komunikasi yaitu menjembatani kesenjangan
informsi di antara siswa.
Dalam berkomunikasi seorang pembicara
mempunyai kebebasan untuk memilih ungkapan yang akan digunakan dan kebebasan
untuk memilih cara bagaimana mengatakan sesuai dengan konteks kapan dan dimana
ungkapan itu digunakan.
Suatu komunikasi memiliki tujuan
sehingga seorang pembicara bisa menilai apakah tujuannya itu tercapai
atau tidakberdasarkan informasi yang diterima dari lawan bicara. Kalau lawan
bicara tidak memberikan respon balik terhadap apa yang kita katakan maka
situasi seperti itu dianggap tidak komunikatif.
Penggunaan bahan ajar otentik dianggap
penting untuk memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan strategi
untuk menggunakan dan memahami bahasa dalam situasi atau kontiks yang
sesuai. Bahan ajar otentik yang dimaksudkan disini adalah penggunan bahan ajar
yang diambil dari sumber-sumber yang bukan ditujukan khusus bagi pengajaran
bahasa.
Langkah-Langkah Metode Komunikatif
Dalam pengajaran yang menggunakan metode
komunikatif, teknik yang paling banyak di gunakan adalah penggunaan bahan ajar
otentik (min mashadir asliyyah/authentic
material), permainan bahasa (al’ab
lugawiyah/language games), rangkaian gambar cerita (silsilah qishah mushawwarah/picture
strip story) dan bermain peran (tamsil
daur/role play), penyelesaian masalah (hal
musykilat/problem solving).
Berikut ini akan di sajikan contoh
prosedur pengajaran bahasa asing yang menggunakan Metode Komunikatif (disadur
dari Finocchiaro dan Brumfit 1983: 107-8).
1. Pembelajaran diawali dengan penyajian
suatu dialog singkat atau beberapa dialog mini, didahului oleh sustu motifasi
(yang berkaitan dengan situasi-situasi dialog terhadap pengalaman-pengalaman
masyarakat yang mungkin diperoleh para pembelajar )dan sustu diskusi mengenai
fungsi dan situasi orang, peranan, latar, topik, dan keinformalan atau
keformalan bahasa yang menuntut fungsi dan situasi tersebut.
2. Kemudian dilanjutkan dengan praktik
lisan (pengulangan) setiap ucapan bagian dialog yang di sajikan pada hari itu
(seluruh kelas, setengah kelas, kelompok, individual) dan pada umumnya di
dahului oleh model.
3. Selanjutnya pembelajaran di kembangkan
dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tetap berdasarkan
topik-topik dialog dan sitiasi itu sendiri.
4. Setelah itu guru dan murid menelaah dan
mengkaji salah satu ekspresi komunikatif dasar dalam dialog itu atau salah satu
struktur yang menunjukkan fungsi tersebut.
5. Kegiatan-kegiatan produksi lisan
bergerak maju dari kegiatan terpimpin menuju kegiatan komunikasi yang lebih
bebas.
6. Setelah kegiatan latihan lisan, siswa
menyalin dialog-dialog, atau dialog-dialog mini atau modul-modul kalau tidak
terdapat atau tertera dalam teks kelas.
7. Sebelum pembelajaran akan segera
berakhir, guru memberi contoh tugas pekerjaan rumah secara tertulis, kalau
diperlukan.
8. Akhirnya, dilakukan evaluasi
pembelajaran (hanya lisan), misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
Kelebihan dan Kekurangan
Metode Komunikatif
Keunggulan metode ini terletak pada ciri
komunikatifnya itu sendiri. Pendekatan ini menekankan komunikasi sehingga
kelancaran siswa dalam menggunakan bahasa akan cepat tercapai. Kegiatan dalam
kelas tidak berpusat pada guru melainkan berpusat pada siswa sehingga siswa
terlibat aktif dalam berbagai bentuk kegiatan dalam penyelesaian masalah yang
dilakukan secara berpasangan, bertiga atau dalam kelompok-kelompok kecil.
Selain itu siswa akan termotivasi untuk belajar bahasa asing karena mereka
melakukan sesuatu yang bermakna dengan kegiatan bahasa ini. Kenyamanan di dalam
kelas juga tercipta dengan baik karena mereka mendapat kesempatan yang banyak
dalam berinteraksi dengan teman-temanya ataupun dengan gurunya.
Sedangkan kelemahan metode ini terletak
pada penilaianya. Setiap kesempatan siswa dilibatkan dalam kegiatan yang
menekankan “kelancaran” sementara penilaianya kebanyakan berfokus pada
“ketelitian”. Contoh kelemahan metode ini dapat kita lihat dalam tes akhir yang
umumnya tidak memberi penilaian pada kemampuan komunikasi siswa secara
langsung, melainkan memberikan penilaian pada penggunaan kosa kata dan tata
bahasa siswa. Selain kelemahan dalam sistem penilaianya, metode ini juga
memiliki kelemahan dalam penyediaan Authentic
material. Authentic materialyang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa
sulit di temukan, terutama bahan untuk istima’.
Kelemahan lainya dapat di lihat pada kesalahan tata bahasa yang lebih banyak
terjadi pada saat siswa berbicara karena guru kurang memberikan feedback terhadap kesalahan
siswa sehingga cenderung menjadi kesalahan yang sulit untuk di perbaiki lagi.
2.4. Ciri-ciri Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
1
Mengutamakan makna sebenarnya daripada tata gramatikalnya
2
Adanya kegiatan komunikasi fungsional dan interaksi sosial yang saling
berkaitan
3
Berorientasi pada pemerolehan kompetensi komunikatif, bukan ketepatan
gramatikal (pemahaman untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari)
4
Pembelajaran diarahkan pada modifikasi dan peningkatan murid dalam
menemukan kaidah bahasa lewat kegiatan berbahasa (learning by doing)
5
Materi pembelajaran berangkat dari analisis kebutuhan berbahasa
pembelajaran
2.5.
Impelentasi Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran
Bahasa
Implementasi pendekatan komunikatif
A. Konteks dan tema digunakan untuk
mengembangkan perbendaharaan kata siswa. Tujuannya adalah agar pembelajaran
bahasa berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, tidak disajikan dalam
kalimat-kalimat yang sulit dimengerti siswa, misalnya penggambaran kegiatan di
rumah, di dapur, di jalan, di desa, di sekolah, dan sebagainya.
B. Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan
untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh
penutur, misalnya :
1. Untuk menyatakan informasi faktual
(melaporkan, menanyakan, mengoreksi, dan mengidentifikasi)
2. Menyatakan sikap intelektual (menyatakan
setuju atau tidak setuju, menyanggah, dan sebagainya)
3. Menyatakan sikap emosional (senang,
tidak senang, harapan, kepuasan, dan sebagainya)
4. Menyatakan sikap moral (meminta maaf,
menyatakan penyasalan, penghargaan,dan sebagainya)
5. Menyatakan perintah (mengajak,
mengundang, memperingatkan, dan sebagainya).Pengajian fungsi itu sebaiknya
disajikan di dalam konteks, tidak dalam bentuk kalimat-kalimat yang lepas.
C. Menekankan pada pengembangan kompetensi
bahasanya, bukan pada pengetahuan bahasanya saja, sehingga siswa dapat
menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang harus diperhatikan
guru dalam merancang materi pengajaran yang mengacu pada pendekatan komunikatif
menurut Brown, yaitu:
1. Tujuan pembelajaran di dalam kelas
difokuskan pada semua komponen dari kemampuan berkomunikasi.
2. Teknik dalam pembelajaran bahasa
dirancang untuk melibatkan siswa dalam penggunaan bahasa yang pragmatis,
autentik, fungsional dan bermakna.
3. Kelancaran dan ketepatan berbahasa yang
dapat melandasi teknik-teknik komunikatif.
4. Siswa pada akhirnya harus menggunakan
bahasa, baik secara produktif maupun reseptif.
DAFTAR
PUSTAKA
Pranowo.
2015. TEORI BELAJAR BAHASA. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar