Minggu, 17 Desember 2017

Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia



Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
Pendekatan komunikatif adalah sistem pembelajaran yang menekankan pada aspek komunikasi, interaksi, dan mengembangkan kompetensi kebahasaan, serta keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, menulis, berbicara) sebagai tujuan pembelajaran bahasa dan mengakui bahwa ada kaitannya dengan kegiatan komunikasi dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan komunikatif di Indonesia muncul pada tahun 1980 karena adanya ketidakpuasan akan beberapa teori bahasa (tradisional, struktural, dan mentalistik) yang hanya menekankan pembelajaran bahasa pada teori saja, tanpa memperhatikan bagaimana cara penggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Pendekatan komunikatif dapat juga diartikan sebagai pendekatan yang berpijak pada hakikat bahasa sebagai alat/sarana komunikasi, sehingga pengajaran bahasa diarahkan pada penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi. Komponen komunikasi itu meliputi unsur pelaku komunikasi, cara berkomunikasi, tempat komunikasi, dan lain-lain (Djiwandono, 1996).
Terkait dengan pendapat tersebut diatas, Hymes (dalam Brumfit dan Johnson, 1987), mengemukakan bahwa didalam kelas, bahasa digunakan untuk beberapa tujuan, seperti memberikan sambutan, memohon, memberikan informasi, memerintahkan, dan seterusnya, walaupun pemakaiannya terbatas.
 
Kompetensi Komunikatif
Kompetensi komunikasi adalah sebuah konsep yang menjadi topik pembicaraan selama empat dasawarsa terakhir. Berbicara kompetensi komunikasi tidak lagi hanya membicarakan karakteristik struktur dan kognitif, tetapi lebih menekankan pada implikasi sosial, kultural, dan pragmatik.
Menurut Mondada dan Doehler (2004:502-503) aktivitas berinteraksi  merupakan pengalaman pembelajar yang berkaitan dengan kompetensi komunikasi. Kemampuan komunikasi tidak hanya berhubungan dengan potensi otak seseorang. Zuengler dan Cole (2005) serta Watsongegeo dan Nielsen (2003) menegaskan bahwa konsep sosialisasi dalam pemerolehan bahasa sangat penting untuk penelitian pemerolehan bahasa, dan sosialisasi tersebut memberikan banyak sumbangan untuk pemahaman konpleksitas kognitif, kultural, sosial, dan politik pembelajaran bahasa.
Perspektif konstruktivis sosial memandang bahasa sebagai komunikasi interaktif antar individu, yang masing-masing memiliki identitas sosial budaya. Para peneliti pun mengkaji wacara, interaksi, pragmatik, dan negosiasi sebagai bahan untuk menghasilkan kompetensi komunikasi. Pembelajaran bahasa asing pun bergerak kearah penciptaan makna melalui tindak negosiasi antar personal dalam pembelajaran bahasa. Kompetensi komunikasi telah menjadi sebuah istilah yang akrab  dalam SLA (Second Language Aquisition), dan padanannya. Pengajaran komunikatif masih menjadi istilah yang tepat untuk penelitian dan pengajaran terkini.
Istilah Communicative Competence diperkenalkan oleh Dell Hymes (1972, 1967). Ia mengkritisi istilah kompetensi yang dikemukakan Chomsky (1965) terlalu sempit pengertiannya. Menurut Hymes kreatifitas yang ditentukan oleh kaidah menurut Chomsky  dalam perkembangan tata bahasa anak usia 3 atau 4 tahun tidak cukup menjelaskan kaidah-kaidah sosial dan fungsional bahasa.
Oleh karena itu, Hymes menyebut Kompetensi komunikasi sebagai aspek kompetensi yang memungkinkan kita menyampaikan dan menafsirkan pesan antarpersonal dalam konteks tertentu. Savignon (1983, 9) mengatakan bahwa kompetensi komunikatif tergantung pada kerjasama semua partisipan yang terlibat.
Pada tahun 1970-an, penelitian tentang kompetensi komunikasi telah membedakan antara kompetensi linguistik dan komunikatif (Paulston, 1974; Hymes, 1967). Karya berpengaruh yang dijadikan bahan rujukan hampir semua diskusi tentang kompetensi komunikasi dalam pengajaran kedua adalah buku karya Michael Canale dan Merrill Swain (1980). Mereka membagi empat komponen yang membangun konsep kompetensi. Kompetensi gramatikal adalah aspek kompetensi komunikasi yang meliputi tentang leksikal, kaidal morfologi, sintaksis, semantik, kalimat tata bahsa, dan fonologi (Canlale & Swain, 1990:29).
Kompetensi wacana adalah kemampuan untuk mengkaitkan kalimat-kalimat dalam rentang wacana dan untuk membentuk keseluruhan rangkaian tuturan yang bermakna. Wacana berarti apa saja mulai dari percakapan sederhana hingga teks tulis panjang (artikel, buku, dan sebaianya).
Jika kompetensi gramatikal berfokus pada tata bahasa taraf kalimat, kompetensi wacana berurusan dengan hubungan antar kalimat. Kompetensi Sosiolinguistik adalah pengetahuan tentang kaidah-kaidah sosial budaya bahasa dan wacana. Kompetensi sosiolinguistik mensyaratkan pemahaman tentang konteks sosial saat bahasa digunakan; peran para partisipan, informasi, dan fungsi interaksi. Hanya dalam sebuah konteks utuh penilaian bisa dilakukan terhadap kelayakan tuturan tertentu.
Kompetensi Strategis adalah konsep yang luar biasa kompleks. Cane dan Swain (1980:30) menggambarkan kompetensi strategis sebagai strategi komunikasi verbal dan non-verbal yang bisa dipakai untuk mengimbangi kemandekan dalam komunikasi karena kompetensi yang tidak memadai. Sedangkan menurut Savignon (1983:40) kompetensi strategis adalah strategi-strategi yang digunakan seseorang untuk mengimbangi pengetahuan yang tidak sempurna tentang kaidah atau faktor-faktor yang membatasi penggunaan strategi-strategi itu seperti keletihan, kelalaian, atau tidak memperhatikan.
Pendekanya, kompetensi inilah yang mendasari kemapuan kita untuk melakukan perbaikan, mengatasi kekurangan pengetahuan, dan menopang komunikasi dengan penyederhanaan, penyampaian tidak langsung, pengulangan, keraguan, pengindraan, dan terkaan, maupun pergeseran register dan gaya.
Yule dan Tarone (1990:181) menyebut kompetensi strategis sebagai kemampuan memilih sebuah sarana efektif untuk melakukan sebuah tindak komunikasi yang memungkinkan pendengar/ pembaca mengenali rujukan yang dimaksud. Seseorang pembicara handal mempunyai dan mampu menggunakan sebuah kompetensi strategis yang canggih. Seorang wiraniaga dapat menggunakan strategi-strategi komunikasi tertentu yang membuat sebuh produk tampak menggiurkan.
Model kompetensi komunikasi Canale dan Swain (1980) ternyata mengalami modifikasi selama beberapa tahun. Pandangan yang lebih baru dikemukakan oleh Lyle Bachman (1990). Ia menyebut kompetensi komunikasi dengan istilah kompetensi bahasa. Ia menempatkan kompetensi gramatika dan wacana (disebut tekstual) di bawah satu cabang, yang disebut kompetensi organisasional: semua sistem yang menentukan apa yang bisa kita lakukan dengan bentuk-bentuk bahasa, baik pada tataran kalimat atau kaidah yang mengatur bagaimana mengikat kalimat-kalimat menjadi sebuah wacana.
Kompetensi sosiolinguistik menurut Canale dan Swain dibagi menjadi dua kategori pragmatik: aspek-aspek fungsional bahasa (kompetensi ilokusioner), berhubungan dengan pengiriman dan penerimaan pesan yang dimaksud), dan aspek-aspek sosiolinguistik (yang membahas tentang pertimbangan-pertimbangan seperti sopan santu, derajat formalitas, metofora, register, dan aspek-aspek bahasa yang terkait secara kultural. Bachman juga menambahkan kompetensi strategis sebagai elemen yang sepenuhnya terpisah dari kemampuan komunikatif.  Dengan demikian,  dalam pengajaran bahasa, semua kompetensi yang dapat menunjang keberhasilan berkomunikasi, harus menjadi perhatian dan bahan pertimbangan dalam memilih strategi pembelajaran.

Metode Komunikatif
Metode ini mulai berkembang bersamaan dengan terjadinya beberapa perubahan pada tradisi pengajaran bahasa yang terjadi di Inggris pada tahun 1960-an yang bersamaan dengan ditolaknya pendekatan audilingual di Amerika. Para praktisi merasa tidak puas karena para pelajar, setelah belajar beberapa tahun, tetap belum lancar berkomunikasi dalam bahasa target. Sedangkan para ahli linguistik mengecam dari sisi landasan teoritisnya.
Kelahiran metode komunikatif merupakan hasil dari sejumlah kajian tentang pemerolehan bahasa (iktisab al-lughah/language acquisition) dan berbagai penelitian mengenai metode pengajaran bahasa di Eropa dan Amerika. Meskipun terdapat beberapa variasi dalam penerapannya, Metode Komunikatif tetap mempertahankan karakteristik dasarnya yaitu apa yang dikenal dengan kesenjangan informasi, pilihan dan umpan balik, dan materi otentik.
 
Kesenjangan informasi
Kesenjangan informasi terjadi apabila terdapat dua orang atau lebih saling bertukar informasi, dimana orang yang mengetahui sesuatu memberikan informasi kepada orang yang tidak mengetahuinya. Hal ini sejalan dengan tujuan komunikasi yaitu menjembatani kesenjangan informsi di antara siswa.
 
Pilihan
Dalam berkomunikasi seorang pembicara mempunyai kebebasan untuk memilih ungkapan yang akan digunakan dan kebebasan untuk memilih cara bagaimana mengatakan sesuai dengan konteks kapan dan dimana ungkapan itu digunakan.
 
Umpan Balik
Suatu komunikasi memiliki tujuan sehingga seorang pembicara  bisa menilai apakah tujuannya itu tercapai atau tidakberdasarkan informasi yang diterima dari lawan bicara. Kalau lawan bicara tidak memberikan respon balik terhadap apa yang kita katakan maka situasi seperti itu dianggap tidak komunikatif.
 
Bahan ajar otentik
Penggunaan bahan ajar otentik dianggap penting untuk memberikan kesempatan kepada siswa dalam mengembangkan strategi untuk menggunakan dan memahami bahasa dalam situasi atau kontiks yang sesuai. Bahan ajar otentik yang dimaksudkan disini adalah penggunan bahan ajar yang diambil dari sumber-sumber yang bukan ditujukan khusus bagi pengajaran bahasa. 
 
Langkah-Langkah Metode Komunikatif
 
Dalam pengajaran yang menggunakan metode komunikatif, teknik yang paling banyak di gunakan adalah penggunaan bahan ajar otentik (min mashadir asliyyah/authentic material), permainan bahasa (al’ab lugawiyah/language games), rangkaian gambar cerita (silsilah qishah mushawwarah/picture strip story) dan bermain peran (tamsil daur/role play), penyelesaian masalah (hal musykilat/problem solving).
Berikut ini akan di sajikan contoh prosedur pengajaran bahasa asing yang menggunakan Metode Komunikatif (disadur dari Finocchiaro dan Brumfit 1983: 107-8).
1.      Pembelajaran diawali dengan penyajian suatu dialog singkat atau beberapa dialog mini, didahului oleh sustu motifasi (yang berkaitan dengan situasi-situasi dialog terhadap pengalaman-pengalaman masyarakat yang mungkin diperoleh para pembelajar )dan sustu diskusi mengenai fungsi dan situasi orang, peranan, latar, topik, dan keinformalan atau keformalan bahasa yang menuntut fungsi dan situasi tersebut.
2.      Kemudian dilanjutkan dengan praktik lisan (pengulangan) setiap ucapan bagian dialog yang di sajikan pada hari itu (seluruh kelas, setengah kelas, kelompok, individual) dan pada umumnya di dahului oleh model.
3.      Selanjutnya pembelajaran di kembangkan dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tetap berdasarkan topik-topik dialog dan sitiasi itu sendiri.
4.      Setelah itu guru dan murid menelaah dan mengkaji salah satu ekspresi komunikatif dasar dalam dialog itu atau salah satu struktur yang menunjukkan fungsi tersebut.
5.      Kegiatan-kegiatan produksi lisan bergerak maju dari kegiatan terpimpin menuju kegiatan komunikasi yang lebih bebas.
6.      Setelah kegiatan latihan lisan, siswa menyalin dialog-dialog, atau dialog-dialog mini atau modul-modul kalau tidak terdapat atau tertera dalam teks kelas.
7.      Sebelum pembelajaran akan segera berakhir, guru memberi contoh tugas pekerjaan rumah secara tertulis, kalau diperlukan.
8.      Akhirnya, dilakukan evaluasi pembelajaran (hanya lisan), misalnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
 
  Kelebihan dan Kekurangan Metode Komunikatif
Keunggulan metode ini terletak pada ciri komunikatifnya itu sendiri. Pendekatan ini menekankan komunikasi sehingga kelancaran siswa dalam menggunakan bahasa akan cepat tercapai. Kegiatan dalam kelas tidak berpusat pada guru melainkan berpusat pada siswa sehingga siswa terlibat aktif dalam berbagai bentuk kegiatan dalam penyelesaian masalah yang dilakukan secara berpasangan, bertiga atau dalam kelompok-kelompok kecil. Selain itu siswa akan termotivasi untuk belajar bahasa asing karena mereka melakukan sesuatu yang bermakna dengan kegiatan bahasa ini. Kenyamanan di dalam kelas juga tercipta dengan baik karena mereka mendapat kesempatan yang banyak dalam berinteraksi dengan teman-temanya ataupun dengan gurunya.
Sedangkan kelemahan metode ini terletak pada penilaianya. Setiap kesempatan siswa dilibatkan dalam kegiatan yang menekankan “kelancaran” sementara penilaianya kebanyakan berfokus pada “ketelitian”. Contoh kelemahan metode ini dapat kita lihat dalam tes akhir yang umumnya tidak memberi penilaian pada kemampuan komunikasi siswa secara langsung, melainkan memberikan penilaian pada penggunaan kosa kata dan tata bahasa siswa. Selain kelemahan dalam sistem penilaianya, metode ini juga memiliki kelemahan  dalam penyediaan Authentic material. Authentic materialyang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa sulit di temukan, terutama bahan untuk istima’. Kelemahan lainya dapat di lihat pada kesalahan tata bahasa yang lebih banyak terjadi pada saat siswa berbicara karena guru kurang memberikan feedback terhadap kesalahan siswa sehingga cenderung menjadi kesalahan yang sulit untuk di perbaiki lagi.

2.4.  Ciri-ciri Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
1          Mengutamakan makna sebenarnya daripada tata gramatikalnya 
2          Adanya kegiatan komunikasi fungsional dan interaksi sosial yang saling berkaitan  
3          Berorientasi pada pemerolehan kompetensi komunikatif, bukan ketepatan gramatikal (pemahaman untuk dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari)
4          Pembelajaran diarahkan pada modifikasi dan peningkatan murid dalam menemukan kaidah bahasa lewat kegiatan berbahasa (learning by doing)
5          Materi pembelajaran berangkat dari analisis kebutuhan berbahasa pembelajaran
2.5.  Impelentasi Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Bahasa
Implementasi pendekatan komunikatif
A.     Konteks dan tema digunakan untuk mengembangkan perbendaharaan kata siswa. Tujuannya adalah agar pembelajaran bahasa berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, tidak disajikan dalam kalimat-kalimat yang sulit dimengerti siswa, misalnya penggambaran kegiatan di rumah, di dapur, di jalan, di desa, di sekolah, dan sebagainya.
B.     Bahasa sebagai alat komunikasi digunakan untuk bermacam-macam fungsi sesuai dengan apa yang ingin disampaikan oleh penutur, misalnya :
1.      Untuk menyatakan informasi faktual (melaporkan, menanyakan, mengoreksi, dan mengidentifikasi)
2.      Menyatakan sikap intelektual (menyatakan setuju atau tidak setuju, menyanggah, dan sebagainya)
3.      Menyatakan sikap emosional (senang, tidak senang, harapan, kepuasan, dan sebagainya)
4.      Menyatakan sikap moral (meminta maaf, menyatakan penyasalan, penghargaan,dan sebagainya)
5.      Menyatakan perintah (mengajak, mengundang, memperingatkan, dan sebagainya).Pengajian fungsi itu sebaiknya disajikan di dalam konteks, tidak dalam bentuk kalimat-kalimat yang lepas.
C.     Menekankan pada pengembangan kompetensi bahasanya, bukan pada pengetahuan bahasanya saja, sehingga siswa dapat menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal-hal yang harus diperhatikan guru dalam merancang materi pengajaran yang mengacu pada pendekatan komunikatif menurut Brown, yaitu:
1.      Tujuan pembelajaran di dalam kelas difokuskan pada semua komponen dari kemampuan berkomunikasi.
2.      Teknik dalam pembelajaran bahasa dirancang untuk melibatkan siswa dalam penggunaan bahasa yang pragmatis, autentik, fungsional dan bermakna.
3.      Kelancaran dan ketepatan berbahasa yang dapat melandasi teknik-teknik komunikatif.
4.      Siswa pada akhirnya harus menggunakan bahasa, baik secara produktif maupun reseptif.



DAFTAR PUSTAKA

 

Pranowo. 2015. TEORI BELAJAR BAHASA. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mengenal Chipset yang Sering Digunakan di Smartphone saat ini.

    Chipset merupakan sebuah komponen penting bagi Smartphone dan penggunanya. Banyak pengguna Smartphone yang pilih-pilih terlebih da...